Sunday, July 8, 2007

Pengaruh Pergerakan Mahasiswa Bagi Konstitualisme di Indonesia

Oleh Dimas Utomo*


Dewasa ini, hampir dalam keseharian kehidupan bernegara kita, baik dalam aspek politik maupun aspek-aspek lainya selalu diwarnai pergerakan-pergerakan yang populer dengan sebutan ”demonstrasi”. Demonstrasi yang terjadi betul-betul merata di segala bidang dan lapisan masyarakat, sehingga demonstrasi kini tidak hanya identik dengan insan intelektual saja tetapi juga masyarakat kelas bawah yang buta tulis dan huruf. Namun dapatkah kenyataan tersebut dianggap sebagai fenomena yang menggambarkan bahwa bangsa betul-betul telah melek demokrasi? Apakah hal tersebut tidak menyebabkan hilangnya esensi dari pergerakan itu sendiri? Apakah pengaruhnya bagi konstitusionalisme di indonesia?

Pergerakan mahasiswa sebagai salah satu gejala demokrasi, telah ambil bagian, tumbuh dan berkembang searah perkembangan dan konstitusionalisme bangsa dari masa kemasa. Pergerakan mahasiswa benar-benar telah terbukti mampu menghancurkan tirani dan belenggu terhadap jaminan hak asasi, seperti tercermin dalam pergerakan angkatan 60 an dan akhir 90an di mana mahasiswa dan masyarakat bersatu-padu mengubah arah ketatanegaraan bangsa. Tidak hanya berhenti sampai disitu, pergerakan juga memiliki peran penting sebagai artikulator kehendak dan kepentingan kolektif masyarakat dalam menyikapi segala kebijakan-kebijakan pemerintah dan isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia sehingga pemerintah tidak bisa arogan dan melenggang-nyaman sendirian untuk membuat kebijakan yang lari dari konstitusi.Tidak heran beredar anggapan bahwa pergerakan mahasiswa merupakan ”penjaga konstitusi” yang abadi dan memberi warna konstitusionalisme di indonesia.

Seiring dengan waktu, searah dengan kehidupan sosial, ekonomi,dan politik masyarakat yang tidak kunjung baik. Ekspektasi masyarakat terhadap pergerakan telah berada dalam puncaknya. ”Demo” dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling efektif dalam menunjukkan ketidakpuasan. Pupuk mahal ”demo”, uang spp naik ”boikot”, dan upah kerja turun ”mogok”. Lama kelamaan apresiasi terhadap pergerakan kian menurun. Masyarakat kian menjadi apatis dan immun dengan kepentingan dan isi dari pergerakan itu sendiri. Pada akhirnya bukan membawa kepada keadaan yang lebih baik namun justru sebaliknya. Mahasiswa turut andil dalam fenomena demokrasi-kebablasan yang marak periode belakangan ini. Untuk itu sebagai laskar terdepan, kita tidak bisa sembarangan dalam melakukan pergerakan.

Pergerakan harus matang, masif, dan terorganisasi dengan baik
Sebelum lebih jauh, pergerakan adalah bergerak menuju perubahan yang lebih baik. Pergerakan tidak hanya identik dengan aksi turun ke jalan tetapi juga tulisan dan hal-hal lain yang mengekspresikan pengabdian yang tinggi kepada masyarakat. Khusus mengenai aksi turun kejalan, aksi harus diperhitungkan dengan matang, terorganisasi dengan baik dan menyeluruh karena bila terpecah belah dan tidak disertai dengan perhitungan yang matang, aksi akan mudah ditunggangi oleh pihak yang berkepentingan dan bersifat politis sehingga mahasiswa hanya menjadi alat atau ”tool of change” bukan sebagai ”agent of change”. Selain itu dan tidak kalah mengerikannya, mahasiswa sebagai insan intelektual yang layak tiru, segala tindakan yang dilakukanya dapat menjadi contoh dalam pengaplikasian kehidupan masyarakat. Pergerakan mahasiswa yang dilakukan secara parsial, sporadis, dan tidak terencana akan menanamkan dalam diri masyarakat bahwa segala isu dan kebijakan layak untuk disikapi, baik dengan pergerakan yang tidak terencana dan seadanya sekalipun. Setiap elemen dalam masyarakat sudah ”mampu bersuara”, tidak peduli baik atau benar, konstitusional atau inkonstitusional, serta didengar atau tidak didengar. Pada intinya segala isu dan kehendak harus ”disuarakan”. Pada akhirnya tertanam dalam jiwa masyarakat untuk menjadi kian apatis dan kebal terhadap segala esensi yang diusung pada suatu pergerakan yang seterusnya akan membawa pengaruh buruk terhadap konstitusionalisme dan pandangan masyarakat akan demokrasi di Indonesia

Pergerakan harus konstitusional,solutif,dan ultimum remedium
Sebelum melakukan suatu aksi, jiwa dan nilai konstitusi sebagai kemauan kolektif seluruh warga negara harus telah dipahami, dikritisi, dan diresapi secara mendalam terlebih dahulu. Pergerakan yang inkonstitusional tidak akan bermakna dan membawa perubahan apapun. Kaya aksi miskin reaksi. Segala kepentingan dan hak rakyat akan menjadi mentah begitu saja. Selain itu ”mengaca” dari kejadian-kejadian sebelumnya, banyak diantara kita dengan heroik dan semangat ’45 memperjuangkan hak-hak masyarakat namun saat tujuan dan cita pergerakan tercapai mahasiswa seolah melepaskan begitu saja tanggung jawabnya. Tidak meninggalkan suatu solusi, apa yang sebaiknya dan seyogianya dilakukan setelahnya dalam artian tidak ada sesuatu yang berkelanjutan atau gradual. Hal tersebut tentu bukan membawa kepada keadaan yang lebih baik namun justru menimbulkan instabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Tidak lupa, pergerakan mahasiswa merupakan suatu upaya terakhir apabila upaya-upaya lainnya tidak dapat terlaksana. Jadi kita seharusnya tidak begitu gampang bergerak dan harus bijak dalam menyikapi segala isu dan kebijakan.

Begitu pentingnya pengaruh pergerakan mahasiswa dalam menentukan arah konstitusionalisme di indonesia sehingga segalanya harus dilakukan dengan seksama dan terorganisir dengan baik. Sudah sepantasnya kita sebagai generasi penerus bangsa yang cerdas dan idealis menegakkan pilar demokrasi yang sebenar-benarnya, dimana segalanya ada; dari dan untuk rakyat. Bukan sebaliknya membentuk pandangan masyarakat terhadap demokrasi yang kerdil yang menuhankan demonstrasi diatas segalanya. Kalau bukan kita siapa lagi???????Yakusa!!dhanuJ

*Penulis adalah mahasiswa FHUI angkatan 2005 dan saat ini menjabat sebagai Koordinator Diskusi Forum Lintas Generasi- Indonesia

Artikel ini merupakan kajian hasil diskusi dan silahturahmi FLG bersama Pan Muhammad Faiz (salah satu Founders FLG) pada tanggal 28 Juni 2007 di kesekretariatan FLG

No comments: